Sabtu, 11 Juni 2011

SEJARAH KERAJAAN MUNA

A. SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN MUNA
 Sebagai Suku bangsa, Muna memiliki sejarah yang cukup panjang.  Dari situs sejarah yang ada di dinding Gua Liangkobori dan   Metanduno menanndakan bahwa peradaban suku bangsa muna dimulai sejak jaman purba mesolitikum. Relief yang ada didinding kedua Gua tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat saat itu yang masih nomade dan menggantungkan hidupnya dari berburu dan meramu.
Menelusuri sejarah perdaban masyarakat dan sejarah kerajaan Muna memang agak sulit. Hal ini disebabkan kurangnya literatur  baik berupa manuskrip yang  ditulis oleh sejarawan Muna masa lalu naupun hasil  penelitian ilmiah yang dilakukan saat ini.
Sudah menjadi hal yang lumrah bila menulis Sejarah Muna para penulis menggunakan referensi sejarah buton. Penggunanaan referensi tersebut karena sejarah  buton tidak terlepas dengan sejarah Muna seperti suku muna yang telah mendiami daratan pulau buton sebelum armada mia pata miana mendarat di pulau buton dan la kilaponto Raja Muna VII yang kemudian dinobatkan menjadi Raja Buton VI yang berhasil menjadikan Buton sebagai Kesultanan dan Sultan I.
Dari berbagai literatur yang mengutip tradisi lisan masyarakat muna dan hikayat yang ditulis oleh penyair-penyair buton,  dikatakan bahwa sejarah peradaban manusia di muna dimulai ketika Sawerigading dan pengikutnya yang berjumlah 40 orang terdampar di suatu daratan di Pulau Muna yang saaat ini di kenal dengan nama Bahutara.
 Sejarah kerajaan Muna dimulai setelah dilantiknya La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno ne Tombula sebagai Raja Muna I. Namun sebelum itu telah ada komunitas masyarakat yang diyakini merupakan perpaduan antara pengikut Swaerigading  yang berjumlah empat puluh orang dengan masyarakat lokal yang telah mendiami pulau muna sejak ribuan tahun yang lalu.
Sebagaimana yang dijelaskan pada bab-bab terdahulu bahwa Sawerigading bersama pengikutnya empat puluh orang yang menumpang sebuah kapal terdampar di sebuah wilayah yang  diberi nama ‘Bhahutara’pada saat sebuah pulau    mucul dipermukan  yang saat ini dikenal sebagai Pulau Muna.Setelah terdampar, empat puluh orang pengukut Sawerigading tersebut kemudian menyebar  dan membentuk koloni-koloni bersama dengan penduduk asli yang telah terlebih dahulu menghuni Pulau Muna, sedangkan Sawerigading sendiri diceritakan terus melanjutkan petualangannya.
Tidak ada yang menjelaskan  apakah Sawerigading melanjutkan petualangannya dengan kapalnya yang terdampar tersebut atau membuat kapal baru.Tapi yang jelas kehadiran Sawerigading dan emat puluh pengkutnya di Daratan Muna telah membawa nuansa baru dalam pembangunan peradaban dalam kehidupan Orang Muna.
Seiring dengan perkembangan zaman, koloni-koloni yang dibangun oleh pengikut Sawerigading tersebut bersama masyarakat lokal semakin besar hingga terbentuklah kampong-kampong. Setelah penduduk semakin banyak dan kampong yang terbentuk semakin luas serta  permasalahannya juga  yang semakin kompleks maka mereka mengangkat seorang pemimpin diantara mereka untuk mengatur seluruh kehidupan social mereka.
Menurut beberapa catatan sejarah mengungkapkan, sebelum terbentuknya kerajaan Muna, dimuna telah terbentuk delapan kampong dengan pembagian 4 kampong dipimpin oleh kamokula yaitu ;
1.       Tongkuno,pemimpinya bergelar Kamokulano Tongkuno
2.       Barangka,pemimpinnya bergelar Kamokulano Barangka
3.      Lindo, pemimpinnya bergelar Kamokulano Lindo
4.      Wapepi, pemimpinnya bergelar Kamokulano Wapepi
Sedangkan  empat kampung lainnya di pimpin oleh mieno yakni:
1.      Kuara, pemimpinnya bergelar Mieno Kaura
2.      Kansitala,pemimpinnya Mieno Kasintala
3.      Lembo,pemimpinnya bergelar Mieno Lembo
4.      Ndoke. Pemimpinnya bergelar Mieno Ndoke
Pembagian wilayah menjadi depan kampong tersebut bertahan sampai pemeritahan raja Muna VI Sugi Manuru.
Walaupun masih sangat sederhana, kedelapan kampong yang telah terbentuk mengikat diri dalam sebuah ‘Union’ dengan mengangkat Mieno Wamelai sebagai pemimpin tertinggi. ‘Union’ yang telah terbentuk itu sangat memudahkan Bheteno ne Tombula Raja Muna I dalam menyusun struktur pemerintahaan dan struktur social ketika awal-awal pemerintahannya.Union yang telah terbentuk sebelumnya belum dianggap sebagai Negara karena belum memenuhi syarat syarat sebagai sebuah Negara ( Kerajaan ).
Nantilah dilantik Bheteno Ne Tombula sebagai Raja Muna I,  Kerajaan Muna baru dapat dikatakan sebagai sebuah negara karena telah memenuhi syarakat-syarat sebagai sebuah negara yaitu telah memiliki Rakyat, Wilayah dan pemerintahan yang berdaulat dan seluruh stakeholder bersepakat untuk mengikat diri dalam sebuah pemerintahan dengan segala aturan-aturannya yang bernama Kerajaan Muna. 
Sepanjang sejarah kerajaan Muna lebih kurang 530 tahun( 1417—1949 ), tercata ada 39  orang Raja yang pernah memimpin Kerajaan Muna, terdiri dari 34 orang raja yang dipilih dan dilantik oleh Sarano Wuna yaitu lembaga yang memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan raja, tiga orang di utus oleh Kesultanan Buton dalam rangka politik Kooptasi dengan pengaruh kekuatan Kolonial Belanda yaitu La Ode Umara II dan La Ode Maktubu dan La Ode Ngkaili serta  dua Orang sebagai  Raja Pengganti ( Pejabat Sementara ) karena terjadi kekosongan Kekuasaan akibat intervensi colonial Belanda  yaitu Wa Ode Wakelu ( Permaisuri Raja La Ode Ngkadiri yang digulingkan oleh belanda ) dan La Aka Bhonto balano yang juga saat menjabat Rajanya di Gulingkan Oleh pemerintah colonial Belanda.

B. KERAJAAN MUNA DIPIMPIN OLEH SUGI
Pasca pemerintahan Bheteno Ne Tombula 1467, Kerajaan Muna di pimpin oleh Sugi ( Yang Dipertuan).Tidak ada  catatan sejarah yang mengisahkan mengapa Raja-Raja Muna pasca Bheteno Ne Tombula bergelar Sugi.Namun dari cerita rakyat Muna sedikit mengungkapkan bahwa pemakaian Gelar Sugi tersebut menunjukan kedekatan hubungan antara Kerajaan Muna dengan Kerajaan-Kerajaan di Jawa khususnya Kerajaan Majapahit karena sugi tersebut berasal dari Bahasa Jawi Kuno yang artinya Suci atau dikeramatkan.
   Pemerintahan Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Sugi berlangsung selama 71 tahun ( 1467 – 1538 ). Sepanjang sejarah Kerajaan Muna ada lima orang Sugi yang perna memimpin Kerajaan muna. Mereka itu adalah Sugi Patola, Sugi Ambona, Sugi Patani,Sugi La Ende dan Sugi Manuru.
 Dari kelima Sugi tersebut, Sugi Manuru lah yang paling banyak disebut-sebut dalam sejarah. Hal ini berkaitan dengan peranan beliau dalam melakukan penataan Sistem Pemerintahan, Kemasyarakatan, Sosial dan hukum di Kerajaan Muna. Karena jasanya tersebut, Sugi Manuru Oleh Masyarakat Muna di beri gelar “Omputo Mepasokino Adhati” artinya Raja yang menetapkan nilai-nilai dasar ( Adat ). 
D. kerajaan Muna Pra Islam
       Kerajaan Muna pra islam berangsuung selama 208 tahun ( 1417 -1625 ). Dalam kurung waktu tersebut kerajaan Muna dipimpin oleh 10 orang raja.  Pada masa pemerintaha pra islam tersebut tercatat terjadi beberapa peristiwa yang dilakkkan oleh Raja-Raja Muna yang terukir tinta emas dalam lembaran sejarah dunia.
Sayangya akibat kooptasi VOC Belanda dan Kesultana Buton serta terlambatnya pembudayaan tulis dan kurangnya minat masyarakat Muna dalam menulis sejarah maka goresan sejarah Putera Muna tersebut dicatat sebagai sejarah Buton. Akibatnya erajan Muna kurang dikenal dalam pergaulan kerajaan-kerajaan nusantara. 

BAHASA MUNA SEBAGAI BAHASA UNTAMA DI KERAJAAN MUNA DAN BUTON

S 
elain nama kerajaan/kabupaten/ pulau, Muna juga menjadi nama sebuah bahasa yang digunakan oleh suku bangsa Muna yang mendiami Pulau Muna, Pulau Buton dan Pulau-pulau kecil di sekitar kedua pulau tersebut seperti Pulau Kadatua, Pulau Siompu dan Pulau Talaga ( Kabupaten Buton ).  Dr Rene van den Berg, dosen linguistik di Darwin, Australia yang melakukan penelitian Bahasa Muna menjelaskan bahwa sebaran wilayah yang masyarakatnya menggunakan Bahasa Muna sebaagai bahasa tutur yang berada di daratan Pulau Buton adalah  wilayah Kecamatan Batauga , Lasalimu, kamaru, Kapontori, Labuandiri, Lawele, laonti kambe-kambero, Bosuwa, Lawela ( Kabupaten Buton ), Kecamatan Betoambari (Katobengke-Topa-Sulaa-Lawela), Kecamatan Bungi ( Lianbuku, Wonco, Bungi, Palabusa ) , Kecamatan Kokalukuna ( Pulau Makasar) di Kota Baubau   serta di ex kerajaan Muna meliputi Kecamatan Kambowa, Kecamatan Wakorumba dan Kecamatan Bonegunu Kabupaten  Buton Utara, serta Kecamatan Wakorsel, Maligano dan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Muna.
Belum ada yang menjelaskan secara ilmiah mengapa Suku Muna yang menggunakan bahasa muna yang awalnya menghuni Pulau Muna dapat tersebar begitu  luas di daratan Pulau Buton dan Pulau-Pulau disekitarnya ( ex Kesultanan Buton). Sebagian sejarahwan Buton menulis  bahwa luasnya sebaran wilayah yang dihuni oleh Suku Muna di Pulau Buton hingga menguasai hampir seluruh Pulau Buton adalah migrasi besar-besaran Suku Muna akibat tidak kondusifnya Kerajaan Muna sehingga mencari perlindungan pada Kesultanan Buton yang lebih aman.
 Namun argumentasi tersebut terbantahkan dengan adanya fakta seperti yang dikisahkan dalam hikayat Mia patamiana. Hikayat tersebut mengisahkan bahwa  jauh sebelum kerajaan Buton terbentuk Suku Muna telah menjadi penghuni Pulau Buton. Fakta itu dapat dilihat dari setiap  wilayah  yang menjadi tempat pendaratan Mia Patamiana,  orang yang diakui sebagai orang yang memulai peradaban di Negeri Buton masyarakatnya   menggunakan bahasa muna sebagai bahasa tutur  mereka. Ini juga dijelaskan dalam hikayat Mia Patamiana dimana ketika sitamajo salah seorang dari empat orang Mia Patamianaa mendarat di Kapontori mereka telah menemukan masyarakat lokal yang menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa komunikasi diantara mereka.
Demikian pula ketika armada Mia Patamiana lainnya ( Simalui, Sijawangkati dan Si Batara )  mendarat disuatu wilayah seperti Kamaru, Lasalimu, Kadatua dan Topa mereka selalu bertemu dengan  penduduk lokal yang menggunakan  bahasa Muna sebagaai bahasa tutur mereka. Bukti kuat dari itu adalah sampai saat ini masyaarakat diwilayah tersebut tetap menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa primer mereka selain Bahasa Indonesia.
Berdasarkan luas wilayah dan kuantitas pengguna Bahasa Muna sebagai bahasa Tutur di Sulawesi tenggara, bahasa Muna merupakan  bahasa kedua penutur terbanyak setelah Bahsa Tolaki-Mekonggga. Secara geografis penyebaran penutur kedua bahasa tersebut juga berbeda. Bahasa Tolaki-Mekongga sebarannya di daratan Pulau Sulawesi Bagian Tenggara, sedangkan Bahasa Muna Penuturnya tersebar di Kepulauan termasuk dua pulau besar yaitu Muna dan Pulau Buton.
Dr, Rene Van dengberg juga menemukan penutur bahasa Muna ternyata bukan saja di tersebar di wilayah kepulauan Sulawesi bagian tenggara tetapi di sebagian Pulau Ambon dan kepualauan Maluku Utara. Dr. Rene Van Denberg tidak menjelaskan sejak kapan bahasa muna digunakan oleh maasyaarakat Pulau Ambon dan Kepulauan Maluku Utara serta bagaimana  proses penyebarannya.
Mungkin saja  penyebaran bahasa Muna di Pulau Ambon dan Kepulauan Maluku utara tersebut lakukan oleh La Ode Wuna Putra raja Muna VI Sugi Manuru.
Tradisi lisan masyarakat Muna menjelaskan bahwa salah seorang Putra Raja Muna VI Sugimanuru yaitu La Ode Wuna yang berwujud Ular berkepala manusia diusir karena berulah yang dapat mencoreng kewibawaan ayahaandanya sebagai Raja.
Setelah diusir dari kerajaan Muna, La Ode Wuna kemudian  berlayar menuju Pulau Halmahera di Maluku Utara. Dalam pelayaranya La Ode Wuna yang dikenal sakti menumpang pada dua buah kelapa. Sesampainya di pantai Pulau Halmahera ( maluku Utara ), La Ode Wuna kemudian menanam kelapa yang menjadi tumpangannya tersebut di pantai dimana dia terdampar. Jadi ada kemungkinan La Ode Wuna dan pengikutnyalah yang pertama menyebarkan bahasa Muna di Kepulauan Maluku/maluku Utara melalui alkulturasi budaya.
“Bahasa Menunjukan Bangsa”  demikian dikatakan JS. Badudu, seorang pakar bahasa Indonesia yang terkenal pada masa Orde Baru karena mengeritik dialek Presiden Suharto yang melafalkan kata makin dengan mangkin. JS. Badudu menyadari bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri bangsa. Olehnya itu setiap orang termasuk Suharto harus melafalkan pengucapan setiap kalimat bahasa sesuai dengan kaidah tata bahasa yang baik dan benar sebagai manifestasi jati diri dan identitas suatu bangsa, dalam hal ini Bangasa Indonesia.
Menurut JS. Badudu  kebesaran suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa besar kecintaan bangsa itu dengan bahasanya. Salah satu bentuk dari kecintaan tersebut adalah ditentukan dengan kualitas dan kuantitas orang yanng  menggunakan  bahasa bangsa tersebut.
Mengapa JS.  Badudu menekankan penggunaan bahasa dengan eksistensi suatu bangsa? Hal ini terjawab dengan sejarah kolonialisme moderen di mana untuk dapat mengifiltrasi suatu bangsa,  maka hal pertama yang dilakukan bangsa tersebut adalah menyebar luaskan penggunaan bahasanya pada bangsa yang di incarnya.
Bila melihat pengguna Bahasa Muna yang hampir melingkupi seluruh wilayah ex Kesultanan Buton, mungkinkah kita dapat berasumsi bahwa Buton itu merupkan bagian atau koloni dari Kerajaan Muna? Atau mungkinkah Bahasa Muna merupakan bahasa Kesultanan Buton? 
Pertanyaan diatas perlu diteliti lebih mendalam lagi, sebab berdasarkan artikel-artikel sejarah yang ditulis oleh sejarawan buton selama ini dikatakan bahwa bahasa kesultanan Buton adalah Bahasa Wolio. Padahal berdasarkan penelitian dan fakta yang ada hari ini pengguna bahasa Wolio hanyalah melingkupi masyarakat satu Kecamatan ( Kecamatan Wolio )dari 6 Kecamatan yang ada di Kota Bau-bau saat ini, selebihnya menggunakan bahasa Muna ( sebagian besar ) dan bahasa Cia-cia ( sebagian kecil-khususnya di kecamatan Sorawolio).
Soerjono Soekanto Dalam buku Sosiologi Suatu pengantar ( 1990) mengatakan interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu: 1) Adanya kontak sosial ( social contact, 2) adanya Komunikasi. salah satu dari dua syarat tadi tidak terpenuhi maka  mustahil terjadi interaksi sosial.  Jadi bagai mana suatu kelompok dapat berkomunikasi dengan tidak saling memahami bahasa masing-masing? Padahal arti penting dari suatu komunikasi adalah memberikan penafsiran perilaku orang lain melalui pembicaraan dan gerak-gerak badania ( Sujano Sukanto, 1990:71-73).   

Jadi kalau kita masi tetap mengakui bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri suatu bangsa, maka bagi mana bahasa Wolio dapat dikatakan menjadi identitas dan jati diri Kesultanan Buton? Badingkan dengan Bahasa Muna yang digunakan oleh hampir seluruh masyarakat ex Kesultanan Buton. Bukankah itu dapat dikatakan bahwa Bahasa Muna telah menjadi  identitas dan jati diri  Bangsa dari Kesultanan Buton? Untuk menjawab semua itu diperlukan suatu kejujuran dan kebesaran hati para sejarawan untuk mengungkap kebenaran sejarah dengan tidak perlu ada yang ditutup-tutupi.

 A. AKSEN
Dr. Rene Van Debrg dalam penelitiaannya menemukan bahwa bahasa Muna memiliki banyak aksen. Setiap wilayah penyebaran bahasa muna memiliki aksen sendiri-sendiri dalam  pengucapannya seperti aksen Bosua, Kamaru,Kaimbulawa,Lasalimu dan Muna, sedangkan menurut Burhanuddin ada juga aksen Pancana.
Aksen Bosua digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Batauga, pantai barat daya Pulau Buton, sebelah selatan wilayah Katobengke-Topa-Sulaa dan Lawela. Sedangkan aksen Kaimbulawa  digunakan oleh masyarakat ‘Siompu. Lantoi, Kambe-Kambero , Liabuku, Barangka dan Kapontori.
Aksen Kamaru digunakan oleh  masyarakat di Kecamatan kamaru kabupaten buton. Aksen Pancana di Gunakan oleh masyarakat yang mendiami pulau Muna bagian Selatan yaitu masyarakat Gu dan mawasangka. Aksen Pancana juga digunakan oleh masyarakat Pulau Talaga, Siompu dan Kadatua.
Setiap aksen dalam pengucapan bahasa Muna, dipengaruhi oleh lingkungan dimana komunitas penggunanya menetap atau pengaruh luar dimana penggunanya sering berintaraksi dengan dunia luar. Dari interaksi-interaksi dari dua atau beberapa bahasa tersebut kemudian melahirkan aksen baru. Misalnya saja Masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang menggunakan Bahasa Wolio atau Cia-cia, maka aksennya akan berbeda dengan masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan masyarakat dari luar seperti melayu, jawa, arab dan lain-lain.
B.PENGUCAPAN
Bahasa Muna dari semua dialek/ aksen dalam pengucapannya tidak mengenal konsonan dalam setiap akhir kata. Dalam  kosa kata bahasa muna tidak mengenal  struktur konsonal vokal konsonan ( KVK ). Olehnya itu penyerapan bahasa asing kedalam bahasa Muna apabila berakhir dengan konsonan dalam pengucapannya pada akhir pengucapannya selalu ditambah dengan vokal ( a,e,i,o,u ). Atau di hilangkan huruf akhirnya sehingga berakhir dengan vokal. Contohnya sandal, dalam bahasa Muna pengucapannya di tambah dengan vokal i’ sehingga pengucapannya menjadi sandal(i), atau Pelabuhan misalnya di hilangkan hurup ‘n’ sehungga dalam pengucapannya menjadi ‘pelabuha’(n).
Selain tidak mngenal vokal dalam akhir kata, dalam alfabet bahasa Muna asli juga tidak mengenal huruf ‘C.’ Namun pada  aksen Kaimbulawa dan pancana huruf C digunakan untuk mengganti huruf ‘T’ pada aksen Muna asli contonya ‘ihintu’ ( Kamu) dalam bahasa Muna asli bila diucapkan dalam aksen Kaimbunawa dan Pancana maka menjadi ‘isincu’
Penggunaan Hurup  ‘C’ dalam pengucapan bahassa Muna tersebut mungkin saja dipengaruhi oleh bahasa Cia-cia.  Hal ini dapat dimungkinkan karena masyarakat yang meggunakan huruf ‘c’ dalam pengucapannya pada umumnya masyarakat yang dalam pergaulannya sangat dekat dengan masyarakat Cia-cia. Jadi karena pergaulan itulah sehingga terjadi perpaduan bahasa kedua suku bangsa tersebut.
Ada juga kemungkinan bahwa penggunaan huruf ‘C’ tersebut dipengaruhi oleh bahasa Wolio. Hal ini terutama  mempengaruhi masyarakat yang dalam pergaulannya sehari-hari sangat dekat dengan masyarakat pengguna bahasa wolio. Mereka itu adalah masyarakat yang berdiam disekitar kecamatan Wolio seperti Katobengke, palabusa, bosuwa,dan Pulau makasaar.







ORANG MUNA

A. SIAPA ORANG MUNA ITU?
Orang Muna adalah masyarakat Suku Bangsa Muna, yang mendiami Pulau Muna dan pulau-pulau kecil disekitarnya, sebagian besar  Pulau Buton khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut dan Barat Daya  Pulau Buton, Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah Kabupaten Buton) . Orang Muna menggunakan Bahasa Daerah Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Orang Muna asli memiliki kemiripan dengan  suku-suku Polynesia dan Melanesia di Pasifik dan Australia. Orang Muna berbeda dengan suku-suku lain yang ada di Sulawesi Tenggara seperti suku Tolaki/Mekongga dan Moronene yang memiliki kemiripan dengan Melayu dan Mongoloid. 
Dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal) terlihat bahwa orang Muna asli lebih dekat dengan suku-suku  yang ada di Pulau Flores dan Kepulauan Maluku.  Hal ini semakin diperkuat dengan kemiripan tipikal manusianya dan kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Timor dan Flores umumnya dan Kepulauan Maluku dengan Kebudayaan dan tipikal Orang Muna..
Motif sarung tenunan di NTT, Maluku  dan Muna memiliki kemiripan satu dengan lainnya  yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan, kecuali Maluku bentuk  ikat kepalanya berbeda.
Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan Muna khususnya di Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga sering mencari ikan atau teripang dan lola hingga ke perairan Darwin.
Telah beberapa kali Nelayan Muna ( dalam laporan penelitian Program Study Pendidikan Sejarah FKIP Unidayan, ditulis Buton)  ditangkap di perairan sekitar Darwin oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia Aborigin  ( La Ode Abd Munafi & Andi Tendri,2002 ).
La Kimi Batoa dalam bukunya ‘Sejarah Kerajan Muna’ terbitan  CV Astri Raha menjelaskan  bahwa penduduk asli Pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu. O Tomuna memiliki ciri-ciri  berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 Cm. Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia dan Australia .
Suku-suku di Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini mendiami wilayah Irian dan Australia ( suku Aborigin). Sedangkan Batuawu  berkuit Coklat  beraambut ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm. Postur tubuh seperti ini merupakan ciri-ciri yang dimiliki suku-suku  Polynesia yang  mendiami Pulau Flores dan Maluku. Suku asli Muna menggunakan Bahasa muna sebagai bahasa sehari-hari.
B. SEBARAN WILAYAH HUNIAN ORANG MUNA
Suku asli Muna ( O Tomuna & Batuawu ), Menghuni Pulau Muna sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan selain menghuni Pulau Muna  Orang Muna juga menjadi menghuni sebagaian besar  wilayah Pulau Buton dan Pulau-Pulau kecil lainnya seperti Pulau Talaga, Kadatua dan Pulau Siompu yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi kabupaten Buton. Penyebaran Suku asli Muna ( Baca; Orang Muna )di Pulau Buton dan pulau-pulau lainya di Sulawesi Tenggara itu dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, bentuk tubuh dan warna kulit  masyarakatnya. 
Dalam literatur dan juga dalam pergaulan, Orang Muna lebih dikenal sebagai orang Buton. Hal ini disebabkan karena Kerajaan/Kesultanan Buton, atas bantuan Belanda, mengkooptasi Kerajaan Muna dan mengklaimnya sebagai bagian dari Wilayahnya. Kendati demikian maasyarakat dan pihak istana Kerajaan Muna tidak pernah mengakuinya.
Hingga Kerajaan/Kesultanan Buton dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1962, Raja– raja  Muna terus melakukan perlawanan terhadap kooptasi Buton dan sekutunya, Belanda. Konsekuensi dari perlawanan tesebut adalah diasingkannya beberapa Raja Muna ke Pulau Sumatera, Jawa dan Ternate serta Pulau Banda.
 Ada beberapa Raja-Raja Muna yang tercatat dalam sejarah yang pernah melakukan perlawanan  (fisik mapun politik) terhadap Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton seperti Raja La Ode Ngkadiri, Wa Ode Wakelu (permaisuri Raja La Ode Ngkadiri), Raja La Ode Saete, La Ode Ngkaili, Raja La Ode Umara,La Ode Pulu dan yang terakhir Raja La Ode Dika gelar Komasigino.
Perlawanan Raja La Ode Dika ditunjukan saat menghadap Sultan Boton  La Ode Salihi. Dihadapan Sultan Buton, Raja Muna La Ode Dika tidak  melakukan penghormatan  sebagai mana layaknya bawahan terhadap atasan, bahkan dengan ketegasannya Raja Muna La Ode Dika mengacungkan telunjuknya ke Pada Sultan Buton.
Tata cara yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode Dika tersebut dianggap sebagai perlawanan dan ancaman oleh Sultan Buton sehingga dilaporkan pada Pemerintah Kolonial Belanda di Makassar. Akibat dari sikapnya  tersebut La Ode Dika dicopot dari jabatannya oleh Pemerintah Kolonial dan secara sepihak pemerintah kolonial menyatakan Kerajaan Muna dibawah pengawasannya ( 1938-1941 ) hingga akhirnya  melantik  La Ode Pandu sebagai penggantinya.
Kenyataan lain yang menunjukkan bahwa Kerajaan Muna tidak pernah mengakui klaim Kesultanan Buton dan sekutunya Kolonial Belanda adalah kuatnya pengaruh kebudayaan Muna mempengaruhi kehidupan masyarakat di Kesultanan Buton khususnya pengguanaan bahasa Muna. Fakta ini masih dapat dilihat sampai saat ini dimana penutur bahasa Muna (orang Muna) yang mendiami sebagian besar wilayah ex Kerajaan/Kesultanan Buton masih dapat dilihat sampai saat ini..
Orang Muna menjadi penghuni Pulau Muna dan Pulau-pulau lainnya sejak  jaman purbakala. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan relief purba di gua Liangkobori dan Gua Metanduno. Menurut beberapa penelitian relief tersebut telah berusia lebih dari 25.000 tahun. Relief yang ada di Gua Liangkobori dan Metanduno secara jelas menceritakan aktifitas Orang Muna saat itu.
Relief yang terdapat digua tersebut memberikan gambaran bahwa walau Orang Muna masih menempati Gua sebagai tempat tinggal mereka, tetapi mereka telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang cukup tinggi. Orang Muna saat itu seperti yang diceritakan dari relief tersebut telah menggunakan  alat-alat  pertanian dalam bercocok  tanam, telah menguasai teknologi pelayaran serta memiliki pengetahuan  dibidang astronomi.
Kebudayaan Orang  Muna seperti tersebut diatas diketahui dari  gambar-gambar yang ada pada Gua Liangkobori seperti gambar tanaman perkebuanan, gambar orang yang sedang berburu dengan menunggang kuda, gambar perahu layar, gambar matahari, bulan dan bintang dan lain-lain.
Pengetahuan Orang Muna di bidang astronomi tersebut selain berkaitan dengan pengetahuan dibidang kelautan sebagai penunjuk arah juga berkaitan bidang pertaian dan astrologi. Pengetahuan astronomi dan astrologi tersebut  masih terus di lestarikan sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari Masyarakat Muna di pedalaman yang masih mengandalkan pengetahuan tradisional dibidang astronomi untuk menentukan musim tanam. Demikian juga dalam melihat hari baik untuk melakukan suatu aktifitas masyarakat Muna sampai saat ini masih mengaitkan dengan peredaran bulan dan bintang. Pengetahuan masyarakat Muna dalam bidang astrologi dinamakan “kutika”.
Ada beberapa nama Rasi bintang yang menjadi petunjuk untuk melakukan aktifitas pertanian. Misalnya saja Rasi Bintang yang di namakan Fele, apabila rasi bintang ini sudah mulai terlihat jelas, maka aktifitas membersikan lahan segera di mulai sebab satu bulan lagi hujan pertama akan turun. Apabila hujan sudah turun maka pembakaran lahan dimulai.
Demikian pula dengan penguasaan Orang Muna terhadap Teknologi pelayaran dapat dilihat yang mana sampai saat ini Orang Muna dikenal sebagai nelayan-nelayan tangguh yang dapat mengarungi samudera sampai  Australia. Bukti itu dapat dilahat dengan banyaknya nelayan-nelayan Orang Muna yang ditangkap di Negara Australia pada saat mencari ikan dan lola dinegeri tersebut.
Belum ada penelitian yang mengungkap secara pasti sejak kapan Orang Muna menghuni  Pulau-Pulau lain selain pulau Muna. Namun kalau melihat dari relief-relief yang ada di liangkobori dapat diperkirakan bahwa Orang Muna telah menjadi penghuni Pulau-Pulau tersebut lebih dari 25.000 tahun yang lalu yaitu jauh sebelum relief yang ada di Liangkobori dibuat.
Gambar perahu/kapal yang terdapat  gua tersebut menunjukan bahwa waktu itu Orang Muna telah menguasai teknologi Kelautan serta telah melakukan perjalanan keluar Pulau  Muna dengan menggunakan perahu/kapal. Jadi dari kebiasan melakukan penjelajahan samudera tersebut sehingga Orang Muna banyak mendatangi tempat lain termasuk pulau-pulau yang ada di sekitar Puau Muna yakni Pulau Buton, Puau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga bahkan sampai di darwin Australia.

C.PERAN ORANG MUNA DALAM MEMBANGUN PERADABAN DI SULAWESI TENGGARA
1. Orang Muna Di Pulau Muna
Sebelum  Sawerigading  dan pengikutnya yang  berjumlah 40 tiba, Pulau Muna  telah di huni oleh Orang Muna yang disebut dengan O Tomuna dan Batawu.  Jadi begitu  Sawerigading dan pengkutnya mendarat di Pulau Muna mereka langsung berbaur dengan kelompok masyarakat tersebut dan membangun peradaban baru yang lebih maju.
 Penghuni Pulau Muna sebelum kedatangan Sawerigading dan Pengukutnya masih mendiami gua-gua yang memang banyak terdapat di Pulau Muna sebagai tempat tinggal mereka. Kehidupan mereka masih sangat tergantung dengan alam. Mereka hidup dari berburu hewan dan memetik langsung makanan dari alam. Penduduk asli Pulau Muna belum mengenal bercocok tanam.
 Peradaban dan kebudayaan Suku asli Pulau Muna semakin berkembang setelah berbaur dengan  empat puluh orang pengikut Sawerigading.  Pola hidup mereka yang sebelumnya mengandalkan meramu dan berburu dalam mencukupi kebutuhan pangannya, kemudian  berupa dengan polah bercocok tanam dan berternak. Selain itu mereka juga  juga mulai membentuk koloni-koloni dan mulai membangun perkampungan di luar gua.
 Seiring dengan pertambahan penduduk, koloni-koloni tersebut berubah menjadi kampong dan permasalahan mereka menjadi komplek. Untuk mengatur kehidupan social mereka, kemudian mereka mengangkat seorang pemimpin diantara mereka yang di gelar dengan kamokula ( Yang di tuakan ).

2.Orang Muna Dalam membangun Peradaban di Negeri  Buton
Jauh sebelum Rombongan Mia Pata Miana ( orang yang empat) yakni Sipanjonga,Sitamanajo, Simalui dan Sibatara mendarat di Pulau Buton, Orang Muna telah menjadi penghuni Pulau tersebut. Dalam hikayat  Mia Patamiana,  dikisahkan bahwa pada saat Armada  Simalui yang berjumlah 40 orang  mendarat di sebelah Timur Laut Negeri Buton ( diperkirakan disekitar Kamaru ) pada tahun 1236 M, mereka bertemu dan berbaur dengan masyarakat local kemudian  membentuk sebuah pemukiman. Selain itu mereka juga membuat benteng sebagai pertahanan dari serangan dari luar.
Demikian juga dengan armada Mia Pata Miana yang lain ( Sipanjonga, Sijawangkati dan Sitamanjo), pada saat mendarat di suatu wilayah mereka langsung berbaur dengan masyaarakat Lokal yang menggunakan bahasa Pancana ( Muna ) sebagai bahasa tutur diantara mereka.  Kisah seperti yang diceritakan dalam hikayat Mia Pata Miana ini  diperkuat dengan  fakta dimana sampai saat ini masya rakat yang mendiami wilayah tempat pendratan mereka masih menggunakan  bahasa Muna ( Pancana ) sebagai bahasa tutur.
 Dari fakta ini dapat di asumsikan bahwa jauh sebelum Mia Patamiana mendarat di negeri Buton, Suku asli Muna telah menjadi penghuni Pulau Buton.
Setelah Mia Patamiana dan pengikutnya datang di Pulau Buton kemudian berbaur dengan Orang Muna yang terlebi dahulu menempati Pulau Buton mereka membangun peradaban yang lebih maju lagi sampai menjadikan Wolio/Buton sebagai sebuah kerajaan. Kerajaan Wolio dibangun atasa kesepakatan para pendatang dari melayu, cina, Jawa ( Majapahit) dan Orang Muna yang   yang telah berbaur sebelumnya dan membentuk empat komunitas besar ( Pata Limbona).
Tidak sampai disitu saja, ketika Kerajaan Buton dipimpin oleh raja Buton V yang bernama La Mulae terjadi kekacauan yang luar biasa di kerajaan Buton akbiat terror yang dilakukan oleh La Bolontio seorang bajak laut dari Tobelo.
Teror tersebut nyaris meruntuhkan kerajaan Buton. Dalam Kondisi yang kacau balau itulah, Putera raja Muna VI Sugi Manuru yang bernama La Kilaponto datang menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Dengan kesaktiannya dalam waktu singkat penyebar terror tersebut dapat ditumpas ( Baca; La Kilaponton Omputo Mepokonduaghono Ghoera ).
Setelah Raja Buton V meninggal, tidak ada satupun yang berani menggantikannya untuk menjadi raja. Olehnya itu para tetua dinegeri Buton bersepakat  untuk melantik La Kilaponto menjadi Raja buton menggantikan La Mulae. Padahal waktu itu La kilaponto baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII menggantikan ayahandanya Sugi Manuru yang telah tua.
Karena merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan negeri Buton yang telah dibangun lelluhurnya serta petuah ayahandanya, La Kilaponto menerimah amanah tersebut dengan konsekuensi harus mengemban jabatan raja pada dua kerajaan sekaligus dalam waktu yang bersamaan
.dikisahkan pula selain pada Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton, pada waktu yang bersamaan pula La Kilaponton juga menjadi raja pada kerajaan Konawe, kerajaan Kabaena dan Kerajaan kaledupa
Terhitung sejak masa pemerintahan La Kilaponto  sampai masa pemerintahan Sultan Buton IV La Elangi gelar Dayanu Ikhsanuddin orang Muna menjadi penguasa dan berperan melakukan penataan terhadap system pemerintahan, hukum dan mebangun tatanan social kemasyarakat di negeri Buton adalah selama hampir dari dua ratus tahun.
   Mengapa La Kilaponto dan penerusnya sampai La Elangi di katakana sebagai Orang Muna ? Sebab berdasarkan hasil penelusuran sejarah dan analisis terhadap sislsilah Raja-raja/Sultan Buton yang dilakukan penulis terungkap  bahwa Sultan Buton I ( La Kilaponton ) sampai Sultan Buton IV ( La Elangi ) tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja-Raja Buton terdahulu ( Baca; La Kilaponto Omputo Mepokonduaghono ghoera).
Itu artinya bahwa peranan Orang Muna dalam membangun peradaban di negeri Buton, sampai menjadikan  Negeri itu menjadi sebuah Kesultanan yang di kenal dalam pergaulan dunia sangat besar dan tidak bisa dipandang  sebelah mata. 
C.  ORANG MUNA DALAM MEMBANGUN PERADABAN DI KONAWE/MEKONGGA.
Tidak saja di Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton Orang Muna berperan aktif dalam membangun peradaban, tetapi di juga di Kerajaan Konaw/Mekongga.  Bahkan dalam beberapa literatur mengungkapkan bahwa  Orang Muna yang dipelopori oleh La Kilaponto berperan aktif membangun peradaban di Kerajaan Konawe/Mekongga sejak La Kilaponto belum menjadi Raja di Kerajaan Muna maupun di Kerajaan Buton.
Berbeda dengan Kedatangan Orang Muna di Buton yang dilakukan sejak jaman purba, kedatangan Orang Muna ( La Kilaponto) di Konawe/Mekongga, dikarenakan adanya hubungan kekerabatan antara Raja-Raja Muna dengan Raja-Raja Konawe sebagai mana kutipan berikut
“ Setelah beberapa lamanya maka terdengar chabar oleh La Kilaponto ( Murhum) bahwa mama dari Wa Sitao anak dari Mokole Konawe telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta benda yang menjadi pusaka Wa Sitao dan Wa Randea nenek Murhum tersebut. Mendengar itu, maka La Kilaponto ( Murhum) sampailah di Konawe dan disebut  namaanya La tolaki. Beberapa lamanya beliau menjadi Mokole Konawe, maka terjadilah perang antara Mekongga dan Konawe, dalam peperangan itu dimana Konawe mendapaat kemenangan” ( La Ode Abdul Kudus, 1962;2).
 Namun Said D berpendapat lain, menurutnya kedatangan Orang Muna ( La Kilaponto ) di Kerajaan Konawe/Mekongga akibat adanya keinginan La Kilaponto untuk melakukan perlawatan pada  Kerajaan-kerajaan yang pernah di hancurkan oleh La Bolontio, tokoh bajak laut bermata satu yang telah dikalahkannya pada suatu pertempuran di Boneatiro.  Dalam perjalanan menuju Konawe, kebetulan kerajaan itu sedang bertikai dengan Kerajaan Mekonga. Hanya dalam waktu delapan hari La Kilaponto dapat menyelesaikan pertikaian itu. Atas jasanya tersebut, La Kilaponto kemudian diangkat menjadi Mokole Konawe dan dianugerahi gelar Haluoleo ( Said D, 2007 ; 148 ).
Tidak ada catatan sejarah yang megungap sejak tahun berapa  La Kilaponto di lantik menjadi Mokole Konawe, tapi yang pasti hingga dia di lantik mejadi Raja Muna pada tahun 1538 La Kilaponto masih menjabat sebagai Mokole Konawe, bahkan sampai Kerajaan Buton  berubah menjadi Kesultanan dan La Kiaponto menobatkan diri sebagai Sultan Pertamanya pada tahn1541 La Kiaponto masih menjadi Mokole Konawe.
Jadi dalam kurun waktu tiga tahun Orang Muna ( La kiaponto ) menjadi raja di tiga  Kerajaan dalam waktu yang bersamaan. Dalam lteratur lain mengungkakan sesunguya selain tiga kerajaan besar tersebut, turut pula dua kerajaan lainnya yaitu Kobaena dan Mekongga  ikut menyertakan diri dibawah kekuasaan Orang Muna ( La kilaponto ) sebagaimana kutipan berikut
‘ Adapun tatkala Murhum menjadi raja dalam negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian negeri karena ia Raja La Kilaponto membawahi negeri  yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri ini seperti Kaledupa dialihkannya, Mekongga dialihkannya dan Kobaena dialihkannya. Maka sekalian negeripun dialihkannya oleh Murhum( Koleksi belanda, hal 1)’      



ASAL USUL PULAU MUNA

Muna  pada awalnya dikenal dengan nama ‘WUNA’.yang dalam Bahasa Muna berati ‘bunga’. Nama itu    memberi makna spiritual kepada kejadian alamnya,dimana terdapat gugusan batu yang berbunga. Gugusan batu tersebut  menyerupai batu karang. Pada waktu-waktu tertentu batu karang dimaksud kerap mengeluarkan tunas-tunas yag tumbuh seperti bunga karang. Oleh karena kejadian itulah maka  masyarakat Muna menyebutnya sebagai ‘Kontu Kowuna’  artinya Batu Berbunga .  Gugusan batu berbunga tersebut terletak di  dekat Masjid  tua Wuna di Kota Muna yang bernama bahutara ( bahtera?). Tempat  dimana Kontu Kowuna tersebut berada dipercaya sebagai tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu di Sulawesi Selatan Yang melegenda.
 Saat ini, Muna dikenal sebagai nama sebuah Pulau yang terletak pada posisi 4006’ samapi 5015’ lintang Selatan dan 12208’ – 123015’ bujur timur, tepatnya diantara Pulau Sulawesi dibagian Tenggara, Pulau Buton di bagian Timur dan Pulau Kabaena di Sebelah Barat.
Selain nama Pulau,  Muna juga menjadi nama  salah satu Kabupaten dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara dengan batas-batas administrasi;
1.   Di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan dan Selat Spelman.
2.   Sebelah Selatan dengan Kabupaten Buton.
3.   Sebelah Timur dengan Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Buton,
4.   Sebelah Barat berbataan dengan Laut Tiworo dan Kabupaten Bombana.
Selain itu Muna juga menjadi nama suku yang mendiami Pulau Muna dan sebagian besar Pulau Buton serta pulau-pulau disekitarnya yang menggunakan Bahasa Muna  sebagai bahasa tutur diantara mereka.
 Sebelum menjadi Kabupaten, Muna juga dikenal sebagai sebuah kerajaan yang berkedudukan di Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara. Pembagian wilayah tersebut dilakukan pada masa Pemerintahan Raja Buton VI Lakilaponto dan Raja Muna VIII La Posasu. Kedua raja tersebut merupakan kakak beradik,  Putra dari Raja Muna VI  Sugi Manuru.
Sebelum menjadi raja Buton VI, La Kilaponto telah menjadi  Raja Muna  VII sehingga  jabatan Raja di kedua kerajaan itu diembannya secara bersamaan selama tiga tahun bersama dengan kerajaan lainnya yakni Kaledupa, Konawe dan kabaena. Namun setelah dilantik menjadi Sultan Buton I ( menyusul perubahan kerajaan buton menjadi Kesultanan ), jabatan Raja di empat kerajaan lainnya yang diembannya selama tiga tahun ( 1538- 1541 M ) diseraahkan pada yang berhak untuk mengembannya.
Di Kerajaan Muna  jabatan Raja diserahkan pada adiknya La Posasu, sedangkan dikeraajaan-kerajaan lainnya tidak ada cacaatan sejaarah yang mengisahkan bagaimana proses penyerahannya dan pada siapa diserahkan. Bersamaan dengan penyerahan kekuasaan di  kerajaan Muna  , turut pula dibagi wilayah kerajaan sebagaimana dijelaskan diatas.
Menurut La Kimi Batoa  pembagian wialayah tersebut karena kecintaan La Kilaponto pada dua wilayah di bagian Selatan Pulau Muna yaitu Gu dan Mawasangka sehingga beliau memohon pada adiknya sekaligus  penggantinya sebagai raja Muna La Posasu agar kedua wilayah dimaksud menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Sebagai gantinya, La Kilaponto menyerahkan dua wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kesultanan Buton yang ada di bagian Utara Pulau Buton yakni Kulisusu dan Wakorumba ( Sebagian wilayah tersebut saat ini menjaadi Kabupaten Buton Utara) (Sejarah Kerajan DaerahMuna CV. Astri Raha,1991).
Banyak kisah yang menceritakan asal usul Muna Sebagai sebuah pulau, baik itu dalam  tradisi lisan dikalangan masyarakat Muna maupun hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton. Namunn secara ilmiah belum ada penelitian yang mengungkap kebenaran cerita-cerita/hikayat tentang asal usul Pulau Muna tersebut.
Kendati demikian  tradisi lisan yang hidup dikalangan masyarakatlah dan hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton yang sering dijadikan sebagai referensi dalam menulis sejarah asal usul Pulau Muna dan Pulau Buton.Untuk itu penulis akan menjelaskan satu persatu cerita dan hikayat tersebut serta beberapa hasil penelitian ilmiah mengenai situs-situs purba kala dan formasi bebatuan yang di Pulau Muna.

A. HIKAYAT “ ASSAJARU HULIQA DAAARUL BATHNIY WA DARUL MUNAJAT ”
Hikayat  “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat"(Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna- Buku Tambaga ) mengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat. Hikayat tersebut menceritakan  bahwa ketika Nabi Muhammad SAW.  mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti rapat.  Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW. apa gerangan yang sedang  terjadi. Pertanyaan sahabat itu dijawab oleh  Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul dua buah Pulau ( Wuna & Buton )  yang mana penghuninya nantinya akan menjadi pemeluk agama Islam yang taat.
Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur dan Abdul Gafur untuk Mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW sekaligus menyebarkan agama islam di kedua pulau tersebut.
Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa negeri sebelum menemukan dua buah pulau  ( ditemukan dalam arti hakiki ) di maksud yaitu Pulau Wuna  - ( Muna ) dan Pulau Buton. Setelah kedua utusan tersebut menemukan negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera. Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang artinya Perut bumi dan Kesejahteraan.
Kisah seperti yang diceritakan  hikayat  "Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat"  mengenai  asal mula Pulau Muna dan Pulau Buton  diatas secara ilmiah  tidak dapat-  dipertanggungjawabkan, sebab masa kerasulan Nabi Muhammad SAW di mulai setelah beliau berusia 40 tahun atau sekitar tahun 600-an M. jadi kalau mengacu pada buku "Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat" berarti umur pulau Muna dan Pulau Buton baru sekitar 1400 tahun.
Intinya  Buku tambaga hikayat Assjaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat bukanlah teks sejarah tentang asal usul pulau Muna dan Pulau Buton. Hikayat Assajaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat hanyalah  mitos yang memberikan gambaran kebudayaan masyarakat Muna dan Buton.

B. TRADISI LISAN MASYARAKAT MUNA
Cerita lainya yang mengisahkan asal mula Pulau Muna adalah seperti yang dituturkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna. Kendatipun tradisi lisan  tersebut  dibumbuhi dengan miros-mitos namun banyak digunakan sebagai referensi para sejarawan dalam menulis Sejarah Muna.
 Dalam tradisi lisan Muna itu   dikisahkan bahwa Pulau Muna ditemukan oleh Sawerigading pelaut dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan dan pengikutnya sebanyak 40 orang.Mereka itu terdampar di sebuah wilayah yang saat ini bernama BAHUTARA ( Bahtera?). Terdamparnya Kapal Swaerigading tersebut akibat munculnya pulau dari dasar laut. 
Bukti terdamparnya kapal sawerigading tersebut adalah adanya sebuah bukit yang menyerupai sebuah kapal lengkap dengan kabin-kabinnya. Bukit yang menyerupai kapal tersebut diyakini oleh masyarakat Muna sebagai fosil dari Kapal  Sawerigading yang terdampar tersebut. Ditutur kan pula pengikut Sawerigading yang berjumlah 40 orang tersebut kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Muna.
Bukti lainya yang menguatkan keyakinan masyarakat Muna terhadap kebenaran tradisi lisan yang telah hidup beratus-ratus tahun  dikalangan masyarakat muna adalah adanya sebuah bukit karang yang mana pada waktu-waktu  tertentu  mengeluarkan bunga yang mirip dengan bunga karang. Bukit batu yang juga terletak di Bhahutara tersebut di namakan “Kontu Kowuna”yang artinya batu  berbunga. Bukit batu yang mengeluarkan bunga tersebutlah konon sebagai asal usul penamaan Pulau dan Kerajaan ‘Wuna’
Walaupu tradisi lisan masyarakat Muna tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah, khususnya tentang awal terjadinya Pulau Muna, yaitu sebuah gugusan pulau yang muncul dari dasar lautan namun tidak dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadian Pulau Muna karena juga dibumbui dengan mitos dan kisah-kisah luar biasa.
Jadi tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau muna juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul Pulau Muna, untuk itu perlu ada penelitian yang lebih mendalam lagi untuk membuktikan kebenaranya secara ilmih.

C. EPIK I LAGALIGO
Cerita yang memiliki kemiripan  dengan tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau Muna adalah epic I La galigo. Epic itu mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabeng yang ternyata saudara kembarnya.  Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara  Sawerigading dan Wa Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus dipisahkan.
Tokoh dari kedua pada tradisi lisan masyarakat Muna dan Epic I La galogo memiliki kesamaan nama. Demikian pula dengan peranannya. Baik tradisi lisan masyarakat Muna maupun Epik I Lagaligo mengakui bahwa Sawerigading adalah seorang Pelaut.
Penyebutan nama yang diawali dengan ‘La’ bagi laki-laki masyarakat Muna memiliki kemiripna dengan penyebutan nama orang laki-laki pada suku Bugis. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa sangat besar kemungkinannya Sawerigading pernah singgah ( terdampar)  di pulau Muna. Hal ini diperkuat oleh DR. Anhar Gonggong sebagai mana kutipan berikut :
Pemerintah pertama Muna yaitu Beteno Netombula juga dikenali sebagai Baidul Zamani adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Beteno Netombula atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kaghua Bangkano Fotu”.  ( La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia– DR. Anghar Gonggong)
Tapi apakah terdamparnya kapal Sawerigading tersebut merupakan awal dari munculnya Pulau Muna? Hal ini juga perlu penelitian yang lebih mendalam lagi. Olehnya itu Epik I Lagaligo juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadinya Pulau Muna.

D.RELIEF DI LIANGKOBORI DAN METANDUNO DAN MUSEUM KARTS INDONESIA
Asal usul keberadaan Pulau Muna yang dapat dijelaskan secara ilmiah karena telah melalui penelitian ilmiah adalah  seperti yang dapat dilihat pada panel monitor  museum karts Indonesia  yang terletak di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. 
Dari panel tersebut kita dapat mengetahui bahwa Pulau Muna hampir seluruhnya tersusun oleh batu gamping berumur Pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun yang lalu). Batu gamping ini diperkirakan dari Formasi Wapulaka, seperti terlihat pada tebing-tebing batu gamping ( Karts ) di sepanjang pantai. Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dan sekarang membentuk kawasan kars yang luas.( Museum Karts Indonesia ).
Itu artinya bahwa pulau Muna sebelumnya adalah terumbu karang yang ada didasar lautan, namun karena desakan dari bawah maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan menjadi sebuah pulau. Bukti kuat dari itu adalah sebuah wilayah disekitar Kota Muna lama dimana ada hamparan batu karang yang pada saat-saat tertentu mengeluarkan tunas-tunas seperti terumbu karang didasar laut, namun warnanya  agak berbeda yaitu putih. Tempat itu sekarang dikenal dengan Kontu Kowuna yang artinya batu berbunga.
Selain data yang tersimpan pada museum karts Indonesia, yang telah diteliti secara ilmiah adalah relief yang ada di  gua Liangkobori dan gua Metanduno. Relief  yang terdapat  di dinding gua tersebut menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Muna pada jaman purba. Relief tersebut menurut beberapa penelitian telah berumur lebih dari  25.000 tahun. Itu artinya bahwa jauh sebelum itu Pulau Muna telah ada dan telah di huni oleh manusia.
Dari relief Liangkobori dan Metanduno tergambar bahwa sejak ribuan tahun yang lalu Orang  Muna telah menguasai teknologi kelautan dan telah melakukan penjelajahan samudera.Dari kebiasaan itulah yang memungkinkan Orang Muna bermigrasi dan menempati pulau-pulau lain disekitar Pulau Muna.